BAB. II Sejarah Adat Kebudayaan Aceh

in

Pada masa lampau, Aceh adalah sebuah kerajaan islam yang besar di nusantara ini. Kerajaan ini pernah berkuasa sampai ke Pariaman (Daerah Minang Kabau), bahkan sampai kemalaka, sehingga terlihat adanya persamaan kebudayaan dan tata arias pengantin Melayu, Minangkabau dan juga adanya pengaruh dari Arab dan China, Eropah serta Hindu/ Hindia. Hal ini terjadi karena pengaruh latar belakang keturunan serta hubungan dengan suku bangsa tersebut.

Pada zaman sultan Ali Muhayat Syah, Aceh mulai dikenal oleh dunia, karena keberhasilannya memukul mundur bangsa portugis saat terjadi sengketa di selat Malaka, Meurah Johan, Sultan Pertama kerajaan Aceh Darussalam (Tahun 1205-1234) adalah putra dari Adi Genali atau Teungku Kawe Teupat, yang di rajakan di negeri Lingga (Aceh Tengah). Beliau dating dari kerajaan samudera pasai dan masih ada hubungan darah dengan raja peureulak. Pada saat itu Meurah Johan dana Maharaja Indra Sakti dari kerajaan Indra Purba (Aceh Besar) dapat memukul mundur serangan lascar Cina. Akhirnya Maharaja Indra Sakti masukislam dan menikahkan putrinya yang bernama Beleng Indra Keusuma dengan Meurah Johan.
Panglima perang lascar Cina yang memimpin penyerbuan ke lamuri adalah seorang wanita yang bernama putrid Nian Nio Lian Khi. Serangan laskar cina itu dapat dikalahkan oleh Meurah Johan dan putri Nian Nio Lian Khi dapat di tangkap. Setelah Putri Nian Nio Lian Masuk Islam dan atas persetujuan permaisurinya, Meurah Johan menikahi putrid Nian Nio Lian Khi yang kemudian dikenal dengan sebutan Putro Neng.
Puncak kejayaan Aceh adalah saat kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda yang begelar Meukuta Alam. Prmaisurinya yang pertama adalah seorang putri yang berasal dari kerajaan Bugis. Setelah permaisurinya mangkat, Sultan Iskandar Muda menikah dengan Peteri Pahang (Putro Phang). Puteri Pahang yang menjadi permaisuri Sultan Iskandar Muda merupakan hadiah dari dua orang yang bersengketa dalam memperebutkan puteri tersebut. Atas keputusan Sultan Iskandar Muda, maka sengketa itu dimenangkan oleh salah seorang dari mereka yang bernama Raja Raden kagum atas keputusan sultan yang adil serta bijaksana, maka sebagai rasa terimakasih, Raja Raden menghadiahkan Puteri Pahang kepada Sultan Iskandar Muda. Sedangkan Raja Raden sendiri menikah dengan adik Sultan.

Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai seorang yang berbudi tinggi, adil, bijaksana dan perkasa, sehingga menjadi kecintaan rakyatnya. Dibawah pimpinan sultan Iskandar muda, Negeri Aceh menjadi Negara yang termasyhur dan rakyatnya hidup makmur sentosa. Demikian pula dengan Puteri Pahang, iapun mendapat tempat di hati rakyat, dan turut pula dalam menyusun Undang-undang Negara; Sehingga sebuah pameo yang berbunyi:
“Adat bak Po Teumeurehom”
“Hukom bak Syiah Kuala”
“Kanun bak Putro Phang”
“Reusam Bak Laksamana”
Maksudnya:
“Stabilitas Kerajaan (Executif)”
“Hukum (Fatwa Ulama)”
“Peraturan Putri Pahang/ Permaisuri Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”
“Peraturan (Reusam) Laksamana”.

Demikian sekelumit sejarah kebudayaan suku Aceh yang ada di daerah pesisir, yang antara daerah pesisir satu dengan daerah pesisir lainnya memiliki banyak persamaan kebudayaan dan saling berkaitan satu samalain.

BAB. III Upacara Adat Perkawinan Aceh

in


Upacara Adat Perkawinan Aceh

1. Persiapan dan Pembukaan

in

1.1. Jak Keumalen/ cah Roet
Jak Keumalen/ Cah Roet ini ada dua cara, yaitu:
A. Langsung dilakukan oleh orang tua atau keluarga
B. Theulangke dilakukan dengan menggunakan utusan khusus.
Maksud Jak Cah Roet adalah sebagai tahapan pertama dalam menjajaki atau merintis jalan. Biasanya beberapa orang dari pihak keluarga calan mempelai putri, datang bersilaturrahmi sambil memperhatikan calon mempelai putrid, suasana rumah dan tingkah laku keluarga tersebut. Pada kesempatan ini, calon pihak mempelai pria juga tidak lupa membawakan bungong jaroe atau bingkisan yang berupa makanan. Setelah adanya pendekatan, keluarga calon mempelai pria/ linto baro akan menanyakan apakah putrinya sudah ada yang punya atau belum. Apabila mendapat jawaban dan sambutan baik dari pihak dara baro, maka dilanjutkan dengan jak lake (jak ba ranub).
Upacara itu terjadi disebabkan pada masa lampau hubungan atau komunikasi antara wanita dan pria khususnya antara remaja berlainan jenis kelamin dianggap tabu, hubungan mereka sangat terbatas (tidak sebebas hubungan remaja masa kini, sejak pertengahan abad 19). Selain itu peranan orang tua terhadap anaknya sangat dominan (over protektif) sehingga dalam memilih jodoh pun menjadi tanggung jawab orang tua masing-masing remaja, baik pria maupun wanita.

1.2. Jak Lake Jok Theulangke/ Jak Ba Ranub (Meminang)
Dalam acara ini orang tua pihak Linto (Mempelai Pria) member theulangke (utusan) dengan membawa sirih, kue-kue dan lain-lain. Pada theulangke, pihak linto sudah mulai mengemukakan hasratnya kepada putrid yang dimaksud. Apakah pihak putrid menerima, akan dijawab “insya Allah” dan pihak keluarga serta puteri yang bersangkutan akan melakukan musyawarah. Jika hasil musyawarah tersebut “tidak diterima” oleh pihak keluarga atau pihak puteri, maka mereka akan menjawab, dengan alas an-alasan yang baik atau dengan bahasa isyarat “hana get lumpo/ mimpi yang kurang baik”. Sebaliknya jika “diterima” oleh pihak keluarga puteri, akan dilanjutkan dengan “Jak ba tanda”

Di kalangan orang tua masa lampau masih banyak yang percaya pada hal-hal yang berbau mistik, seperti adanya makna dari mimpi dan percaya pada kekuatan-kekuatan alam. Kepercayaan itu dipengaruhi oleh ajaran agama islam yang kadang kala masih membaur dengan ajaran animism atau kepercayaan yang di anut oleh nenek moyang kita zaman prasejarah, sehingga dalam menentukan pinangan diterima atau tidak, juga masih dipengaruhi oleh kepercayaan tersebut.

1.3. Jak Ba tanda/ Bawa Tanda
Maksud dari “jak ba tanda” adalah memperkuat (tanda jadi). Biasanya pada upacara ini pihak calon linto membawa sirih lengkap dengan maca-macam bahan makanan kaleng, seperangkat pakaian yang dinamakan “lapek tanda” dan perhiasan dari emas sesuai dengan kemapuan calon linto baro. Ba tanda” ini di tempatkan didalam “talam/ dalong” yang dihias dengan bunga kertas, kemudian tempat-tempat itu di kosongkan dan di isi dengan kue-kue sebagai “balah hidang” oleh keluarga mempelai putri. Acara balah hiding ini biasanya dilaksanakannya bias langsung atau setelah beberapa hari kemudian.

Dalam upacara ini sekaligus dibicarakan hari, tanggal pernikahan, jeulame (mas kawin), peng angoh (uang hangus), jumlah rombongan pihak linto serta jumlah undangan.

2. Pernikahan

in


Pernikahan ada 2 Macam
1.1.   Nikah Gantung, yaitu pernikahan gadis yang masih kecil belum cukup umur atau masih dalam pendidikan, mereka dinikahkan terlebih dahulu dan akan diresmikan beberapa tahun kemudian, Biasanya, hal ini terjadi pada gadis yang dijodohkan, sebab pada zaman dahulu, agam ngon dara (bujang dan gadis) tabu mencari jodoh sendiri. Penentuan teman hidup menjadi wewenang orang tua; terutama bagi seorang gadis.

1.2.   Nikah Langsung, yaitu pernikahan yang dilakukan langsung seperti biasa, langsung diresmikan dan (wo linto) mempelai pria langsung pulang kerumah dara baro. Pada gadis dewasa yang tidak ada halangan, nikah langsung dilaksanakan di kantor KUA atau rumah mempelai wanita.

Pada masa lampau kaum bangsawan selalu membuat upacara pernikahan di rumah calon mempelai wanita (dara baro).
Pernikahan (peugatib) dilakukan beberapa hari sebelum upacara wo linto/meukeurija (pesta). Sebelum upaca meukeurija diadakan meuduek pakat (bermufakat) dengan para orang tua adat, dan anggota keluarga serta pemuka masyarakat yang terdiri dari tuha peut (penasehat), keuchik gampong (kepala desa), imum meunasah (imam langgar). Biasanya musyawarah dipimpin oleh orang tua calon mempelai wanita (dara baro) atau yang mewakilinya untuk membicarakan pesta yang akan diselenggarakan (persoalan teknis). Dalam kesempatan ini, keluarga atau saudara dari orang tua calon mempelai kedua belah pihak, menyampaikan niatnya untuk memberikan sumbangan sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Dalam upacara perkawinan adat Aceh, makanan kecil atau kue-kue yang tidak boleh di tinggalkan adalah buluekat dengan tumpo (ketan), manok panggang (ayam panggang), buleukat dengon (dodol), wajek, halua, meuseukat, thimpan serta kue-kue kering yang disebut dengan reumok tho, kuekarah, kembang goyang (kembang Loyang bhoi/ bolu), bungong kaye (bunga kayu). Sedangkan lauk-pauknya yang biasa di hiding pada pesta perkawinan adat aceh antara lain :
Ä  Gule boh panah (gulee nangka khas Aceh)
Ä  Masak keuruema/ masak puteh (masak semacam opor)
Ä  Shie masak mirah (daging masak merah)
Ä  Seumur Aceh
Ä  Engkot Tumeh (Ikan Tumis Khas Aceh)
Ä  Engkot Masam Keueng (Ikan Asam Pedas)
Ä  Udeung tumeh (Tumis udang khas Aceh)
Ä  Shie Cuka (daging masak cuka)
Ä  Sambai Gureng Ate (sambal goring hati)
Ä  Boh itek jruek (telor bebek asin)
Ä  Boh reuteuk crah (tumis kacang panjang)
Ä  Dan lain-ain
Mekeurija (pesta menyambut linto ke tempat dara baro) disertai dengan pembuatan tenda (jambo/seung) dengan system bergotong royong.
Peudap jambo, atau pasang tarun pada adat perkawinan di jawa, dibuat kurang dari tujuh hari sebelum pesta diadakan. Dikerjakan oleh pemuda kampong (kaum pria). Bila sudah selesai dipeusijuk (di tepung tawar) bersama cawan pingan (peralatan makan). Jambo ini didirikan dihalaman rumah sebagai tempat menerima tamu, biasanya untuk tamu pria, sedangkan untuk tamu wanita biasanya di terima di rumah. Untuk besan terdekat disediakan tempat khusus dan hidangannya telah tersedia di tikar atau permandani.

Peulaminan (Pelaminan)
Saat itu di dalam rumah juga dihias dengan tabing atau tabir pada dinding tempat menerima tamu. Untuk tempat duduk pengantin dibuat pelaminan yang terdiridari:
Ä  Tabeng (Tirai)
Ä  Ayue-ayue di tempatkan diatas/ depan pelaminan
Ä  Boh keulembu, hiasan ini berupa binatang-binatang.
Ä  Kasho Duk, tilam persegi emapat untuk duduk yang di lapisi dengan tika meusujoe (tikar bersulam benang emas/ kasab).
Ä  Dan lain-alian sulaman khas aceh untuk keindahan yang tidak terikat.
Pada zaman dahulu, pelaminan dibuat dari kayu berbentuk tempat tidur dan berukuran single bad, serta dihias dengan kain tile (seperti kelambu) atau kain yang diberi hiasan, boleh juga kain brukat. Warna dasarnya kuning, merah dan hijau atau violet.
Kain hiasan berkasap dibuat secara tradisional daerah Aceh. Masing-masing kain yang terdiri dari berbagai warna yang berukuran 2,25 m yang terdiri dari 7 (tujuh) macam warna. Pada bagian kiri dan kanan pelaminan memiliki warna yang sama simetris. Kain-kain tersebut, bagian depannya ditarik kesamping kiri dan kanan dengan menggunakan kait kelambu yang terbuat dari emas atau perak. Sehingga terlihat seperti pintu berlapis 7 (tujuh) Pinto Tujoh.
Pada bagian atas pelaminan (kiri, kanan dan depan) dilapisi dengan ayu-ayu 9kain berbentuk riak-riak yang bersulam emas).
Kain-kain yang ada disamping kiri-kanan juga dibentuk seperti bagian depan (berbentuk fitrasye jendela). Setelah itu, di seluruh pelaminan disematkan hiasan-biasan berupa kipas, ayam, kepiting, atau hiasan lainnya sesuai dengan seni masing-masing perias.
Alas tempat duduk diberi tilam dan dilapisi dengan sarung tilam berkasab (tika meusujoe) dan dilengkapi dengan sepasang bantai 9bantal) sadeu (banta sandaran), kaso duek (tilam duduk); sedangkan di samping kiri dan kanannya dihiasi dengan bantai meutampok (bantal bertampuk emas/perak) dan masing-masing berjumlah ganjil.
Pada dinding-dinding sekitar pelaminan diberi “tabing” (tabir/ tirai) dan dibagian atasnya diberi kain langit-langit. Pada lantai di sekitar pelaminan dibentangkan permandani. Dari mulai pintu masuk sampai ke pelaminan di bentangkan kain titi. Pada zaman dahulu, kain titi berwarna kuning hanya digunakan oleh kaum bangsawan saja, tetapi zaman sekarang dapat dipat oleh semua orang yang menghendakinya. Setelah itu, di bagian depan pelaminan diberi sepasang dalong kiri dan kanan berisi seunijuek, yang terdiri dari:
Ä  Beulukat dengan tumpo (ketan kuning dan tumpo/inti sari)
Ä  On seunijuek (Daun cocor bebek)
Ä  On Gaca (Daun Pacar/ Inai)
Ä  Naleung Sitambo (Rumput/ Gulma/ berakar kokoh)
Ä  On Seuke Pulot (Daun Pandan)
Ä  Manek Mano dan lain-lain dengan jumlah ganjil.
Ä  Breuh Padee/ Kunyet (beras Padi Kunyit)
Ä  Bungong Rampou (bunga rampai)
Ä  Ie Lammangkong (Air dalam mangkok)
Ä  Barang Meuh (Barang Emas).
Pada sisi kana nada dalam piring besar, di tempatkan dalam dalong yang telah dialasi ceradi 9alas dalong berumbai). Kemudia ketan itu dihias atasnya dengan U mirah (Kelapa gongseng Merah). U mirah yang menjadi hiasan tersebut dapat berupa bunga atau gambar apa saja yang disukai. Kemudian dalong tersebut ditutup dengan sangee (tudung saji) dan diatasnya di tutup lagi dengan seuhap (kain penutup dengan sulaman kasab).
Dalam kebudayaan Aceh, cara menghias pelaminan tidak terlalu terikat, karena terus berkembang dan kreasinya sesuai seni masing-masing perias asalkan tidak meninggalkan ciri-ciri khasnya. Pada pintu masuk sudah disiapkan alat-alat perlengkapan cuci kaki pengantin pria yang terdiri dari :
Ä  Mundam (Tempat Air)
Ä  Bate ie (Gayung Air)

Malam Peugaca (Malam Berinai)
Arti dari malam peugaca adalah malam berinai menjelang Wolinto. Dalam upacara ini juga diadakan peusijuek calon dara baro (mempelai wanita), dan peusijuek gaca, bate mupeh (batu giling).
Maksud dari peusijuek adalah member dan menerima restu, serta mengharapkan keselamatan atas segala peristiwa yang telah dan akan terjadi.
Persediaan dan Makna:
Ä  Breuh Pade (Beras Padi) Melambangkan Kemakmuran
Ä  Naleung Sitambo (Rumput/ Gulma berakar kokoh) melambangkan kehidupan yang mendapat kemudahan dan kokoh dalam mepertahankan hidupnya.
Ä  On Gaca (daun pacar/ inai) melambangkan isteri sebagai obat pelipur lara sekaligus sebagai perhiasan rumah tangga.
Ä  On Seunijuek (daun cocor bebek) melambangkan kesejukan.
Ä  Buluekat kuneng (Ketan Kuning) Melambangkan kesuburan, kedamaian dan menonjol dalam kehidupan.
Ä  On Murong (daun kelor) lambing penangkal ilmu hitam.
Ä  On Manek Mano sebagai pelengkap dan memeriahkan suasana.
Seluruh daun-daun diikat menjadi satu atau dua ikat dan ditempatkan dalam mangkok besar yang berisi air. Bunga rampai, beras, padi ditempatkan dalam piring kecil. Kemudian mangkok dan piring di letakkan didalam dalong dan ditutup dengan tudung saji, lalu ditutup dengan seuhap (kain segi empat bersulam emas atau perak dipakai untuk menutupi tudung saji).
Daun pacar yang sudah di lepas dari tangkainya, ditempatkan dalam piring besar didalam dalong lain. Batu giling diletakkan pada “tika meusujo”dan dialas kain.
Upacara peugaca ini biasanya dilaksankan pada malam hari selama 3-7 malam, semua perlengkapan ditempatkan dipiring yang telah dihias didalam dalong pada tika meusujo (tikar kerawang khas Aceh). Busana yang dikenakan oleh dara baro pada upacara malam peugaca tidak terikat dan terus berganti-ganti dari malam pertama hingga malam ketujuh.
Pelaksanaan Peusijuk Gaca
Upacara Peusijuk dipimpin oleh “Nek Maja” (sesepuh adat), dan dimulai oleh orang tua/ibu calon “dara baro”, kemudian diikuti oleh keluarga terdekat, pada saat peusijuk dimulai, dalam tempat yang berisi air seunijuk dimasukkan emas sebagai lambing kemuliaan yang tidak pernah luntur. Peusijuek ini ditujukan kepada calon dara baro, batu giling, daun pacar dan hadirin yang ada di sekitarnya juga diberikan percikan air seunijuk (tempung tawar).
Calon dara baro, didudukkan di tilam bersulam kasap, di sebelah kiri dan kanannya diletakkan dalong berisi seunijuk dan bu leukat (tepung tawar dan ketan), dibagian depannya diletakkan dalong berisi daun pacar dan bate seumeupeh (batu giling). Kaki dara baro dialasi dengan daun pisang muda.
Beras padi ditaburkan/ disebarkan ke samping dara baro, demikian pula halnya dengan bunga rampai dan air seunijuek. Seumunya ini dimulai dari telapak tangan mengintari badan menuju keatas kepala. Setelah itu calon dara baro diberi uang sebagai hadiah, kemudian bersujud mencium tangan yang melakukan peusijuek dan dibalas dengan ciuman kasih saying pada dahi lalu peusijuek bate dan gaca.
Selesai peusijuk, barulah daun pacar digiling oleh ibu calon dara baro dan keluarga terdekat secara bergantian. Demikian pula memberi daun pacar yang telah digiling itu pada calon dara baro secara bergantian dan disempurnakan oleh ahlinya (ibu rias).

Upacara peusijuk biasanya dilaksanakan pagi hari, dengan harapan kehidupan terus menanjak dan murah rezeki. Upacara peusijuek dilaksanakan dengan harapan agar mempelai mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Pada saat itu biasanya diadakan malam kesenian untuk hiburan mereka yang sedang bekerja untuk persiapan pesta.
Koh Gigo
Pada masa lampau, seorang gadis yang telah dinikahkan, giginya harus dipotong dengan alat pengikir gigi. Gigi yang telah dipotong itu diberi obat penguat gigi (baja bruek). Pemotongan gigi ini sekurang-kurangnya dilaksankan 7 (tujuh) hari menjelang pesta wolinto. Bahan-bahan yang diperlukan untuk Koh Gigo ini adalah:
Ä  Pengikir Gigi
Ä  Pinang Tua yang sudah di kupas (Pineung ruek)
Ä  Baja Bruek (Abu sisa pembakaran Tempurung Kelapa)
Ä  Segelas air putih hangat-hangat kuku yang telah diberi sedikit garam untuk ber kumur-kumur
Ä  Perca kain yang bersih (sapu tangan)
Ä  Air hangat atau panas
Ä  Tapeh (sabut kelapa yang telah dibersihkan)
Cara Pemotongan Gigi
Mempelai dalam posisi tidur diatas kasur sederhana (bebas). Pada bagian dada di tutup kain putih atau kain panjang, rambut dibiarkan terurai (tanpa sanggul). Agar mulut agak terbuka, antara gigi samping atas bawah disanggah oleh pineung ruek (pinang tua) yang telah dikupas dan dibersihkan. Pemotongan gigi mulai dilakukan dengan membaca basmalah dan dilakukan dengan mengikir gigi bagian sisi yang tidak diganjal. Setelah selesai bagian sisi satunya, diteruskan dengan bagian sisi yang lain, kemudian kumur-kumur dengan air hangat yang telah dicampur dengan garam. Ambil kain perca yang telah di rendam air panas dan peraslah perca itu. Sebelum mempelai mengatupkan gigi atas dan gigi bawah, letakkan perca  yang telas steril tersebut diantara gigi atas dan gigi bawah mempelai agar gigi kokoh dan kuat. Berikan baja Bruek ke setiap celah gigi hingga merata, biarkan beberapa saat, kemudian bersihkan dengan “tapeh/ sabuk kelapa” dan berkumur-kumur dengan air hangat dan bersih.
Menurut penilaian masyarakat pada zaman dahulu, pemotongan gigi, akan memberikan kesan lebih cantik dan sekaligus sebagai tanda bahwa wanita tersebut telah menikah (bersuami), Namun zaman sekarang hal ini sudah tidak lazim lagi dilakukan.

Koh Andam (Memotong rambut halus dibagian dahi).
Koh andam ini dilakukan pada calon mempelai wanita (dara baro) yang akan bersanding. Pada upacara koh andam, dicukur bulu-bulu halus yang terdapat pada bagian wajah dan kuduk dan digunting ujung rambutnya agar kelihatan lebih bersih. Semua ini melambangkan, agar hal-hal yang kurang baik pada zaman dahulu harus dihilangkan dan memulai dengan yang baru. Zaman sekarang hal itu sudah kurang dilakukan.
Pelaksanaan upacara Koh Andam dilakukan saat dara baro dalam keadaan suci badan/ bebas haid atau hadas. Bulu-bulu yang telah dicukur dan rambut yang telah digunting ditempatkan didalam kelapa gading ataupun kelapa hijau yang masih ada airnya dan telah diukir sedemikian rupa.
Kelapa ukiran yang berisi ujung rambut dan bulu-bulu roma calon mempelai wanita tersebut ditanam tepat dibawah cucuran air dari atap rumah atau dibawah pohon yang rindang dan berhawa sejuk. Hal ini dilakukan dengan harapan agar mempelai wanita selalu berkepala dingin (berfikiran tenang) dalam menghadapi segala kemelut rumah tangga yang akan dijalaninya nanti sehingga dapat hidup dengan rukun da damai.
Peumano Dara Baro
Sebelum memasuki upacara peumano juga dilakukan peusijuek (tepung tawar) terlebih dahulu dan beberapa hari sebelumnya dara baro (mempelai wanita) sudah dirawat agar badannya bersih dan kulitnya halus.
Upacara Peumano (memandikan), baik calon mempelai wanita maupun mempelai pria dimandikan oleh orang tua adat yang taat, orang tua mempelai dan sanak keluarga terdekat dari kedua orang tuanya dalam jumlah yang ganjil. Dalam upacara mandi dibacakan doa-doa bersuci, agar calon mempelai bersih lahir dan batin dalam memasuki jenjang perkawainan.
Mempelai dipayungi, diantara orang tuanya dan sanak saudara terdekat yang dipimpin oleh orang tua adat sampai ke tempat pemandian sambil membaca salawat nabi Muhammad SAW. Karena diantara pengiring tersebut ada yang pandai berpantun, maka ada acara bersyair. Acara itu merupakan acara spontanitas yang dapat menambah khitmatnya suasana pemandian. Syairnya berisi puji-pujian pada keluarga dan nasehat untuk mempelai sesuai dengan kondisi saat itu.
Contoh Syair yang biasa di lantunkan SBB:
Treun tajak manoe
 Dara Baro Treun Tajak Manoe

Oh Lheuh manoe Lake Seunaleun
Ija nyang laen Seunalen Manoe

Wahe putroe aneuk meutuah
Gata lon seurah Ta tinggai poma

Meunyo tajak Bek tuwo kamo
Bek trep-trep beutawo tajingeuk poma

Adapun arti harfiahnya Sbb:

Turun kita menuju mandi
Mempelai putri turunlah kita pergi mandi

Selesai mandi pintalah kain penyeka
Kain yang lain penyeka badan seusai mandi
Wahai putrid ananda yang bertuah, kami pasrahkan engkau
Meninggalkan ibunda, Jikalau engkau pergi jangan lupakan kami
Jangan lama-lama sekali engkau pulang, pulanglah kunjungi ibunda.

Upacara peumano dara baro, dimasa lampau dilaksankan penuh khidmat dan mempunyai makna sangat sakral. Dahulu pelaksanaan upacara ini hanya untuk kalangan keluarga terdekat saja dan hanya dilakukan oleh kaum bangsawan. Tetapi sekarang dapat dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali.
Pada saat upacara pemano dara baro, di sertai dengan tari pho (asal Aceh Barat). Adapun perlengkapan yang diperlukan:
Ä  Sebuah guci yang berisi air
Ä  Jeruk purut yang sudah diracik
Ä  Bunga rampai (bunga setaman)
Ä  Sebotol minyak wangi
Ä  Gayung mandi (Batee ie)
Ä  Handuk (Seunalen)
Ä  Ija Seunalen (kain untuk bersalin/basahan)
Guci yang telah berisi air dimasukkan jeruk purut, bunga rampai dan minyak wangi.
Upacara ini dipimpin oleh sesepuh adat, dimulai dengan orang tua mempelai dan diikuti oleh keluarga terdekat. Caranya adalah dengan menyiramkan segayung air ramuan tersebut mulai dari atas kepala, ke bahu (pundak) sebelah kanan dan kiri hingga rata keseluruh badan dan kaki yang dilakukan secra bergantian oleh ibu-ibu saja. Boleh diikut sertakan ayah kandungnya.
Peukayan Mano (Busana Mandi)
Pada masa lampau, peukayan manoe, meugeutang ngon ija krong sutra (kemben sarung sutra). Ija SAwak meutop baho meu junte u baroh (selendang menutup bahu berjuntai ke bawah). Dada mempelai putri yang terbuka di tutup dengan perhiasan (kalung besar) sesuai dengan kemampuan, biasanya memakai kalung berangkai (eunteuk) atau kalung lainya yang terbuat dari emas.
Rambut dapat di lepas atau disanggul sederhana, agar gampang dilepas ketika akan mandi. Rambut dihiasi bunga dengan satu macam bunga tau bermacam-macam bunga untuk keindahan. Hiasan rambut hanya berupa bunga-bungaan saja, tanpa ornament, tidak terikat peraturan yang kaku, asalkan tidak menyimpang dari adat dan melanggar agama.

Khatam Qur’an
Perlengkapannya sbb:
Ä  Beureuteh (Bereteh)
Ä  Pisang Buie
Ä  Buluekat (Nasi Ketan)
Ä  Tumpo
Ä  Breuh Mangkong (Beras didalam mangkong)
Ä  Pade Mangkong (Padi didalam Mangkong)
Ä  Boh Manok Gampong (Telur Ayam Kampung)
Upacara Khatam Qur’an ini dipimpin oleh Guru Ngaji dan dimulai dengan membaca do’a memohon kepada Allah YME agar bahagia dunia dan akhirat. Kemudian calon mempelai diusapi ketan dan tumpo yang telah tersedia, baru membaca ayat terakhir Al-Qur’an. Setelah selesai calon dara baro menyalami dan mengucapkan terima kasih serta mohon maaf atas segala kesalahan dan juga mohon do’a restu kepada nguru ngaji sebagai tanda terimakasih dan pengambilan tarikat ilmu.